TIGA TEORI-TEORI TENTANG PARTAI POITIK DI DUNIA POLITIK
TIGA TEORI-TEORI TENTANG PARPOL
Dunia sekarang adalah dunia democrat
dimana sekumpulan orang intelek dan konkrometal untuk mendirikan suatu kelompok
organisasi atau partai yang memupunya
visi dan mis yang jelas dan program yang terarah kepada pembangunan bangsa dan Negara.
Ini di selu dunia terutama Negara-negara yang memegan prisip multi partai seprti Timor Leste, Indonesia, Portugal, …. Dan
lain-lain. Maka teri tentang PARTAI POLITIK sangat membutuhkan, dengan itu ada
beberapa teori tentang PARPOL.
A.
TEORI
AGENSI
Bagi sekelompok kecil pengamat
dan politisi Parpol, kiprah Parpol era reformasi menunjukkan kemajuan positif,
memberi kontribusi terhadap meningkatnya kehidupan demokrasi, dan karena itu
“dinobatkan” sebagai kekuatan politik “pro demokrasi”. Salah satu perspektif
digunakan untuk memahami dan menjelaskan kiprah Parpol “pro demokrasi” atau
memiliki kemajuan positif yakni perspektif agensi atau teori agensi. Teori ini
merupakan basis teori mendasari praktik Parpol berakar dari teori organisasi,
teori sosiologi, teori keputusan dan juga teori ekonomi. Prinsip utama teori
ini menyatakan adanya hubungan politik antara pihak memberi wewenang
(prinsipal) dalam hal ini kalangan pemilih/konstituen dengan pihak menerima
wewenang (agensi) yaitu pengurus/elite Parpol dalam bentuk kontrak kerjasama
(Pemilu). Teori agensi acapkali digunakan untuk menjustifikasi pandangan elite
Parpol bahwa mereka telah bertindak atas kepentingan konstituen. Karena itu
diasumsikan menerima kepuasan berupa kompensasi suara dan syarat-syarat
menyertai dalam hubungan elite Parpol dan konstituen. Teori agensi membantu
elite Parpol untuk menggambarkan, berlakunya hubungan kerjasama saling
menguntungkan antara elite Parpol (the agent), dan pemilih/konstituen (the
principal). Pemilih/ konstituen akan memberikan suara terhadap elite Parpol bersangkutan
dalam pemilihan, dengan harapan dapat melaksanakan preferensi atau kepentingan
pemilih/konstituen bersangkutan. Parpol telah berjanji dan menawarkan program
kepada pemilih/konstituen akan merealisasikan sehingga Parpol dimaksud dalam
Pemilu selanjutnya akan dipilih kembali. Jika Parpol tidak merealisasikan janji
dan program tersebut, maka akan mendapatkan ”hukuman”, yakni tidak dipilih
kembali dalam Pemilu berikutnya. Karena itu, Parpol akan berusaha sebaik
mungkin menjalankan fungsi perwakilannya di parlemen dan sebagai kekuatan
politik pro demokrasi atau turut mempercepat proses demokratisasi politik dan
pada gilirannya peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat. Sesungguhnya beragam
kritik telah muncul atas teori agensi ini. Salah satunya memiliki hipotetis
bahwa elite politik dalam mengelola Parpol (the agent) cenderung lebih
mementingkan kepentingan peribadi daripada meningkatkan “nilai” Parpol dan
kepentingan pemilih/konstituen. Satu kritik mencontohkan keberadaan Parpol
bagaikan lembaga kemahasiswaan. Pengurus lembaga kemahasiswaan dipercayakan
menjadi perpanjangan tangan keluarga mahasiswa untuk pengelolaan organisasi
menjadi agen idealnya mampu mengakomodasi semua kepentingan keluarga. Tetapi,
dalam realitas obyektifnya, terkadang Pengurus lembaga kemahasiswaan itu tidak
mampu menjalankan ini dengan baik. Kecenderungan Pengurus lebih memilih
melaksanakan kepengurusan sesuai dengan keinginan mereka. Kepentingan keluarga
menjadi terabaikan.
B.
TEORI PENCITRAAN
Salah satu karya menggunakan pendekatan
pencitraan dalam politik kepartaian adalah Human Resources and Personnel
Management (1997), karya William B Werther dan Keith Davis. Karya ini
menekankan pentingnya membangun pencitraan Parpol agar masyarakat memiliki
kepercayaan. Penyebab krisis kepercayaan masyarakat terhadap Parpol adalah
perilaku para politikusnya yang buruk dalam membangun citra Parpol, termasuk
ketidakmampuan memperjuangkan aspirasi rakyat. Menurut Werther dan Davis, dalam
sistem multipartai, faktor terpenting yang mempengaruhi sikap seseorang
terhadap Parpol adalah citra (image). Apa yang dilihat masyarakat ketika di
hadapan mereka ada puluhan Parpol, jika bukan karena, citra partai itu sendiri?
Karena itu, tugas berat yang harus dilakukan oleh Parpol adalah membangun citra
partai. Faktor lain juga mempengaruhi citra pemilih terhadap Parpol adalah
opini parpol yang buruk. Apakah upaya ini ada manfaatnya untuk membangun citra
politik yang positif? Dengan menggunakan teori “Biases”, Werther dan Davis
menunjukkan selalu ada bias, distorsi atau penyimpangan ketika seseorang
melakukan penilaian terhadap “diri orang lain”. Whether menunjukkan juga adanya
enam bias penilaian. Pertama, “the hallo effect”, yaitu pilihan politik
didadasarkan atas suka tidak suka secara peribadi (personally likes or
dislikes). Kedua,” the error of central tendency”, yaitu pilihan politik
dilakukan atas dasar persamaan dan penyamarataan sehingga semua Partai ia nilai
secara rata-rata, tidak baik, tetapi juga tidak kurang. Ketiga, “the leniency
and strictness biases”, pilihan politik dilakukan pada dua titik ekstrem, yaitu
baik dan buruk. Keempat, cross-cultural biases, pilihan politik dilakukan atas
dasar pertimbangan budaya. Kelima, “personal prejudice”, pilihan politik
didasarkan atas purbasangka. Keenam, “the regency effect”, pilihan politik
didasarkan pada pengalaman terakhirnya dalam berhubungan dengan Parpol. Karena
itu, melihat kondisi yang demikian, tantangan berat bagi Parpol adalah
memperbaiki citra Parpol tersebut agar kepercayaan masyarakat menjadi pulih
kembali, termasuk soal kader-kader yang bermasalah dengan hukum. Di Indonesia
terutama dalam era reformasi, beberapa pengamat politik dan politisi Parpol
mulai memperkenalkan pendekatan dan teori pencitraan tentang Parpol dalam
kaitannya dengan perolehan suara pemilih dalam Pemilu. Teori pencitraan
didukung kalangan khususnya teoritisi komunikasi politik dan umumnya ilmu
politik meyakini penggunaan teori pencitraan terhadap Parpol dapat memiliki
peran atau memberi kontribusi di dalam menentukan proses demokratisasi. Dalam
perkembangannya, teori pencitraan diperkuat dengan kemunculan teori pemasaran
politik (political marketing) didukung kalangan khususnya teoritisi manajemen
pemasaran dan umumnya ilmu ekonomi. Pendukung teori pemasaran politik juga meyakini,
penggunaan pemasaran politik memiliki kontribusi atau peran di dalam menentukan
proses demokratisasi. Citra (image) adalah salah satu asset terpenting Parpol.
Citra Parpol positif atau baik di mata publik bergantung pada pengetahuan,
kepercayaan dan persepsi publik tentang Parpol dan pada gilirannya dapat
mendorong publik untuk mendukung dan memberikan suara kepada Parpol tersebut
dalam Pemilu. Untuk menciptakan pengetahuan, kepercayaan dan persepsi publik
ini diperlukan komunikasi politik melalui kegiatan seperti pemberitaan dan
iklan politik di media massa, pampflet, bulletin, selebaran, press release atau
konferensi press di surat kabar, media elektronik, dialog interaktif atau
dialogis di radio-radio dan televisi, dll. Politik pencitraan ini memperkuat
kesadaran Parpol akan pentingnya fungsi dan strategi kehumasan Parpol secara
tepat mampu menjembatani komunikasi politik efektif antara Parpol dan
konstituen. Fungsi dan peran kehumasan dinilai penting oleh Parpol, termasuk
juga penggunaan jasa konsultan kehumasan turut membantu merancang strategi
komunikasi Parpol ditujukan untuk kepentingan publik maupun kegiatan kampanye.
Di Indonesia perkembangan politik kepartaian sejak Pemilu tahun 1990-an
ditandai dengan kesadaran akan upaya kehumasan tampak tidak hanya terfokus pada
kegiatan kampanye dengan metode orasi di tengah lapangan, namun lebih pada
komunikasi politik melalui berbagai media massa. Karena berdasarkan riset
tentang pengaruh pesan disampaikan Parpol melalui media masa memiliki nilai
signifikan terhadap keputusan memilih masyarakat, meskipun ini memang bukan
satu-satunya faktor. Parpol tidak hanya memanfaatkan jasa Konsultan kehumasan,
juga membuat media khusus untuk mengkomunikasikan visi, misi dan program
Parpol. Selain itu, ada Parpol mempunyai website sebagai kelengkapan instrumen
kampanye. Semua informasi Parpol disajikan secara detil di website tersebut.
Teori pencitraan Parpol pada umumnya menggunakan pendekatan pemasaran politik.
Pemasaran politik (political marketing) adalah ilmu baru mencoba menggabungkan
teori-teori marketing dalam kehidupan politik. Sebagai cabang ilmu, pemasaran
politik masih tergolong baru namun telah menjadi popular dalam ranah politik di
negara demokrasi industri maju. Parpol berlomba-lomba memanfaatkan ilmu ini
untuk strategi kampanye baik untuk mendapatkan dukungan politik dalam Pemilu
maupun memilihara citra sepanjang saat dalam jeda Pemilu. Konsep inti pemasaran
adalah bagaimana transaksi diciptakan, difasilitasi dan dinilai. Transaksi
adalah pertukaran nilai antara dua pihak, juga terjadi saat seseorang
menukarkan dukungannya dengan harapan mendapatkan pemerintahan lebih baik.
Konsep pemasaran politik merupakan kegiatan memasyarakatkan ideologi politik,
tokoh politik, perjuangan politik telah lama dipraktekkan di Negara demokrasi
maju seperti Amerika Serikat. Semula menempatkan arti penting radio kemudian
televisi sebagai medium komunikasi mampu membantu pemirsa menentukan pilihan.
Chaterin Shaw dalam The Campaign Manager Running and Winning Local Election (2004),
mengutip hasil studi “Americans Speak Out About the 2000 Campaign”,
diselenggarakan oleh The Centre for Congressional and Presidential Studies at
American University. Hasil studi menunjukkan 74 % yang diwawancarai percaya
bahwa radio adalah sumber penting informasi politik. Banyak warga mendengar
radio tatkala dalam perjalanan pergi atau pulang dari tempat pekerjaan
sehari-hari. Sementara televisi memiliki jangkauan luas, terutama di kawasan
perdesaan (rural areas). Melalui logika pemasaran politik, kedekatan Parpol
dengan konstituen dan massa mengambang tetap terjaga setiap saat. Tercipta
pendidikan politik masyarakat dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek
politik, bukan obyek politik sebagaimana disikapi pada saat kampanye Pemilu
saja. Logika pemasaran politik menghindari keterputusan hubungan Parpol dan
masyarakat konstituen. Pendekatan pemasaran politik menggunakan teori-teori
mengenai perilaku konsumen. Pendekatan ini digunakan karena saat menggunakan
hak pilihnya, pemilih melakukan pengambilan keputusan untuk mempertukarkan hak
suaranya dengan pilihan terhadap Parpol tertentu sama seperti perilaku konsumen
mempertukarkan uang untuk membeli barang/jasa tertentu. Pendekatan pemasaran
politik memperkirakan, individu berperilaku berdasarkan keingingan untuk
terikat dengan perilaku tersebut dan faktor apa saja mempengaruhi keinginan
untuk memilih Parpol. Penerapan pendekatan pemasaran memungkinkan Parpol
mengetahui apa secara siginifikan mempengaruhi keinginan untuk memilih Parpol
dan memasarkan Parpol secara tepat demi mendapatkan suara pemilih. Pendekatan
pemasaran politik juga percaya, keinginan untuk memilih Parpol signifikan
dipengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh sikap terhadap
Parpol dan norma subyektif interpersonal. Pengaruh sikap terhadap Parpol
signifikan karena orang mengidentifikasikan diri terhadap Parpol, bukan
terhadap pemimpin. Pengaruh sikap terhadap Parpol secara langsung lebih tinggi
dibandingkan pengaruh secara tidak langsung. Pemilih tidak terlalu memperhatikan
atribut Parpol seperti visi/misi/program atau isu. Pemilih lebih menekankan
pada perasaan simpati, senang dan bangga terhadap suatu Parpol dalam memilih.
Kepercayaan ini semakin menguat jika digunakan menganalisis masyarakat memiliki
karakteristik menekankan harmonisasi dan kedekatan antar anggota masyarakat
seperti di Indonesia. Yakni sosialisasi politik sudah berlangsung sejak
individu belum mempunyai hak pilih dan juga terjadi pada saat individu bersama
keluarga, teman, di tempat kerja, bahkan di kedai kopi. Bagi pendukung
pendekatan pemasaran politik, ada sejumlah alasan mengapa penting menggunakan
pemasaran politik bagi parpol. Pertama, politisi Parpol percaya telah terjadi
pergeseran paradigm pemilih dari paradigma ideologis menjadi paradigma pragmatis.
Masyarakat cenderung melihat program kerja ditawarkan oleh Parpol dibandingkan
dengan alasan ideologis. Hal ini terlihat dari fenomena semakin membesarnya
persentase pemilih non-partisan dan juga masa mengambang. Pemilih non-partisan
yakni kelompok pemilih tidak menjadi angota atau mengikat diri secara ideologis
dengan Parpol tertentu. Di samping itu, adanya persaingan politik dan sistem
multipartai dianut serta semakin kritis masyarakat dalam memilih Parpol. Parpol
dituntut menjadi lebih kreatif dalam menganalisis permasalahan negara dan
rakyat. Parpol paling bagus menyusun program kerja mempunyai peluang lebih
besar memenangkan perolehan suara pemilih dalam Pemilu. Agar menganalisis
permasalahan dan menyusun program kerja bagus, maka dilakukan polling dan
berbagai kegiatan riset lain. Riset merupakan kebutuhan penting untuk pemetaaan
permasalahan, segmentasi pemilih dan pemetaan program kerja. Lebih jauh
pemasaran Parpol harus didukung oleh riset kuat mengangkut aspirasi masyarakat
aktual. Kemampuan mengidentifikasikan permasalahan daerah untuk diketengahkan
sebagai permasalahan kampanye di daerah tertentu, memungkinkan Parpol
bersangkutan menumbuhkan citra sebagai organisasi politik peduli pada kebutuhan
aktual daerah. Indonesia sedang mengalami transisi dari otoriter menuju
demokrasi, implementasi pemasaran politik oleh parpol merupakan fenomena baru
dan masih dilaksanakan secara parsial, bahkan seringkali tanpa disadari Parpol
telah melaksanakan praktek pemasaran politik dalam berkomunikasi dengan komunitas
konstituen dan masyarakat umum. Di Indonesia pemasaran politik mulai dikenal
tetapi belum meluas dalam ranah politik maupun kajian akademis. Kegiatan
politik Parpol disadari atau tidak Parpol telah melakukan serangkaian kegatan
ini sebagai missal pengumpulan massa (temu kader, tabligh akbar dan deklarasi),
pawai di jalan-jalan, liputan media cetak (TV, Koran, Majalah, Radio, dll) atas
kegiatan Parpol sampai ke kunjungan wakil-wakil parpol ke komunitas konstituen
maupun komunitas tertentu telah biasa dilakukan, Intenstitas interaksi Parpol
dan masyarakat sering hanya terjadi pada waktu menjelang Pemilu melalui
pelaksanaan kampanye. Pada masa ini Parpol berlomba-lomba menawarkan produk
politik berupa ideologi, gagasan, kebijakan dan rekan jejak. Masyarakat
dijadikan seperti “pasar sesaat” atau “pasar kaget” untuk mendengar, melihat
dan memilih produk mereka. Di luar “pasar sesaat” ini, komunikasi politik
Parpol dengan masyarakat terputus. Akibatnya, Parpol tidak menjalankan fungsi
pendidikan politik bagi masyarakat dan pada gilirannya kehilangan daya kritis
untuk mengontrol Parpol dan pemerintahan. Karena itu, Parpol menggunakan
pendekatan pemasaran politik hanya pada kampanye Pemilu semata. Padahal
pendekatan pemasaran politik sendiri sesungguhnya menekankan pentingnya kinerja
sebuah Parpol selain kegiatan pemasaran atau pencitraan. Setelah masa Pemilu
berakhir, Parpol harus dapat memenuhi janji-janji atau produk politik sudah
ditawarkan kepada masyarakat atau pemilih. Pemilih atau masyarakat harus memperoleh
kepuasan. Baik teori pencitraan dalam komunikasi politik maupun pendekatan
pemasaran politik percaya, ada hubungan erat antara citra parpol dan perilaku
pemilih. Penciptaan dan pembentukan pencitraan positif Parpol digarap dan
dikelola sedemikian rupa baik sepanjang maupun pasca kampanye. Untuk
menciptakan pengetahuan dan persepsi masyarakat ini diperlukan komunikasi
politik. Dalam perkembangannya, teori pencitraan mendorong Parpol untuk
melakukan komunikasi politik melalui media massa, terutama radio, televisi dan
media cetak karena luas jangkauan jauh lebih luas ketimbang sarana-sarana
komunikasi politik lain. Pesan dan informasi politik Parpol lebih mudah
menjangkau rumah-rumah pemilih dalam Pemilu melalui media massa ini ketimbang
melalui komunikasi interpersonal dengan kader-kader Parpol pada strata
masyarakat bawah umumnya di daerah perdesaan (rural areas) Penggunaan media
massa sangat penting dalam proses kampanye dan sosialisasi politik dalam
Pemilu. Dalam konteks politik modern, media massa bukan hanya menjadi bagian
integral dari politik, tetapi juga memiliki posisi sentral dalam politik. Media
massa merupakan saluran komunikasi politik banyak digunakan untuk kepentingan
menyebarluaskan informasi, menjadi forum diskusi publik dan mengartikulasikan
tuntutan masyarakat beragam. Semua itu dikarenakan sifat media massa dapat
mengangkut informasi dan citra secara massif dan menjangkau khalayak begitu
jauh, beragam dan luas terpencar. Media menjadi kekuatan bisa menyatukan dan
menggiring opini masyarakat kepada salah satu Parpol peserta pemilu dengan
memberikan arah ke mana mereka harus berpihak dan prioritas-prioritas apa harus
dilakukan. Media massa dapat memberi semangat, menggerakkan perubahan dan
memobilisasi masyarakat untuk memberikan suara dalam Pemilu. Media massa
merupakan wahana komunikasi dapat menembus batas ruang dan waktu. Bahkan para
ilmuwan komunikasi politik menekankan, dalam perkembangan teknologi komunikasi
dewasa ini, media massa memungkinkan jutaan orang di seluruh dunia untuk berhubungan
dengan hampir setiap pelosok dunia. Penggunaan media massa mampu menyampaikan
dan mengenalkan visi, misi dan program kerja Parpol kepada publik secara luas.
Komunikai politik melalui media massa dapat diarahkan kepada audiens relatif
besar dan heterogen, sekaligus berfungsi sebagai sarana untuk menggerakkan,
mengukuhkan, memperkuat atau mengubah sikap dan kepercayaan/nilai seseorang
untuk memberikan suara kepada Parpol tertentu. Peran media massa dalam kampanye
Pemilu menjadi sangat penting. Namun, ada sejumlah kritik atas teori pencitraan
menggunakan media massa, antara lain:
1. Mengkhawatirkan kepercayaan
bahwa pengaruh media massa tergolong besar terhadap perilaku pemilih dalam
Pemilu. Mereka sebaliknya percaya, pengaruh media massa tergolong sangat kecil
dalam mengubah sikap dan perilaku pemilih. Media massa hanya mampu dalam
tataran memperkokoh sikap dan perilaku telah ada, bukan mempengaruhi untuk
mengubah sikap dan perilaku tersebut.
2. Media massa bukanlah
segala-galanya. Jika orang ingin memperkenalkan Parpol memang media massa
merupakan sarana komunikasi paling tepat. Jadi sebagai sarana pengenalan Parpol
media massa memang sangat efektif. Apalagi di saat masyarakat harus memilih
salah satu di antara puluhan Parpol berebut kursi dalam Pemilu. Namun, mereka
mengakui juga bahwa media massa memiliki pengaruh besar dalam kampanye Parpol
dikaitkan dengan segmen pemilih nonpartisan dan “massa mengambang”. Namun,
untuk negara-negara terbelakang seperti Indonesia, kegiatan media massa ini
akan berpengaruh jika mendapatkan sikap positif dari pemuka masyarakat (opinion
leader) atau “lembaga mediasi”. Strategi kampanye Parpol ideal adalah
penggabungan pemanfaatan media massa dengan strategi komunikasi antar peribadi
Parpol dan pemuka masyarakat atau “lembaga mediasi” (strata klas menengah
bawah). Lembaga mediasi pada umumnya berdomisili dan hidup sehari-hari di
lingkungan pedesaan atau lapisan akar rumput. Tingkat pengetahuan dan pemahaman
mereka tentang masalah-masalah sosial ekonomi dan sosial politik tergolong
rendah dibandingkan klas menengah dan atas. Media massa dapat mempengaruhi
kebanyakan pemilih akar rumput (lapisan bawah) masih membutuhkan “medium”,
dinamakan lembaga mediasi. Lapisan akar rumput sesungguhnya belum dapat
dibiarkan sendiri untuk memformulasikan prakarsa dan aspirasi politik serta
kemudian mengaktualisasikan sebagai suatu kebijakan. Struktur mediasi merupakan
sarana vital untuk mewujudkan keberhasilan komunikasi politik di lapisan akar
rumput.. Karena itu, di Indonesia misalnya, agar komunikasi politik melalui
media massa bisa efektif, maka sasaran utama Parpol seyogyanya adalah lembaga
mediasi di tingkat Kabupaten/kota/kecamatan.
3. Dana atau biaya dibutuhkan untuk
menggunakan teori pencitraan untuk perolehan suara pemilih Parpol melalui iklan
politik di media massa (radio, televisi dan media cetak) adalah jauh lebih
besar ketimbang penguatan kelembagaan melalui komunikasi interpersonal,
kegiatan pendidikan politik dalam bentuk pelatihan, lokakarya (workshop) atau
temu kader di tengah-tengah masyarakat pemilih. Juga dibandingkan dengan
pembentukan dan penyediaan struktur organisasi dan personil/kader di tingkat
perdesaan atau lapisan masyarakat strata bawah, biaya diperlukan untuk
pemasangan iklan di media massa jauh lebih besar. Penggunaan media massa
terutama radio, televisi dan media cetak sesungguhnya dapat mengabaikan fungsi
Parpol sebagai sarana pendidikan politik anggota dan rakyat. Bisa jadi fungsi
Parpol sebagai sarana pendidikan politik sebagaimana diamanatkan peraturan
perundang-undangan menjadi tidak relevan karena dipercaya bahwa perolehan suara
pemilih lebih ditentukan oleh pesan dan informasi disampaikan melalui media massa,
bukan komunikasi politik “interpersonal” Parpol dan rakyat.
4. Pernyataan mengkhawatirkan:
bagaimana bila kepuasan masyarakat diperoleh melalui pencitraan dan bukan hasil
nyata? Penekanan berlebihan pada teori pencitraan dapat menimbulkan pemahaman
negatif. Masuknya teori pencitraan melalui kegiatan komunikasi politik intensif
dipandang sebagai alat untuk melengkapi hasil kerja yang tidak maksimal, atau
bahkan mungkin tidak adanya hasil kerja. Dalam menjalankan fungsi Parpol,
komunikasi politik atau politik pencitraan berfungsi untuk menginformasikan
pekerjaan Parpol telah dilakukan, bukan menciptakan “ilusi keberhasilan”.
Parpol harus memperoleh kepercayaan masyarakat bukan dengan ilusi keberhasilan
tetapi dengan hasil nyata.
5. Realitas obyektif era
reformasi di Indonesia menunjukkan, teori pencitraan digunakan hanya untuk
mempengaruhi pemilih agar memberikan suara kepada Parpol, bahkan dalam
batas-batas tertentu teori pencitraan digunakan untuk menutup-nutupi “politik
uang” atau “pembelian suara” di tingkat daerah maupun nasional. Teori
pencitraan digunakan semata untuk menghindar dari penyingkapan perolehan suara
pemilih melalui politik uang. Teori pencitraan semula diyakini dapat berperan
dan memberi kontribusi positif, justru menjadi kontra terhadap proses
demokratisasi. Maknanya adalah teori pencitraan digunakan untuk memperkuat
politik kartel dalam kehidupan kepartaian.
C. TEORI
OLIGARKI
Sebaliknya, terdapat beberapa kritik mendasar,
umumnya menilai kiprah Parpol secara substansial tidak demokratis dan tidak
berperanan sebagai pilar/komponen strategis/aktor demokrasi tetapi justru anti
demokrasi, lebih mengutamakan kepentingan elite, tidak merealisasikan janji dan
program dikampanyekan dalam Pemilu. Beberapa teori tentang Parpol telah
digunakan mengkritik kiprah Parpol, antara lain teori oligarki dan teori
politik kartel. Teori oligarki ini sesungguhnya sudah lama digunakan para
ilmuwan politik dalam menganalisis politik kepartaian, antara lain Daniel
Dhakidae dalam Partai-Partai Politik Indonesia Ideologi dan Program 2004-2009
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004). Daniel menujukkan kecenderungan
oligarkis dalam sistem kepartaian Indonesia. Kecenderungan oligarkis dari hari
ke hari semakin nyata bila Parpol memerintah diperiksa dengan seksama. Pertama
adalah konservatisme atau lebih tepat neo-konservatisme, bukan saja dalam
pengertian mengabaikan nilai-nilai dibela pada masa reformasi akan tetapi
semakin kuat gerak balik untuk membela Parpol demi kepentingan Parpol.
Neo-konservatisme memaksa Parpol untuk mengadakan re-aliansi antara Parpol di
tengah adanya perpecahan. Dua gerak di atas, lanjut Daniel, hampir-hampir
dengan sendirinya menunjukkan adanya perkembangan menuju oligarki. Parpol
semakin menjadi birokrasi dalam dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri
sedangkan pejabat Parpol di luar dan di dalam parlemen semakin menjadi
birokrat. Parlemen terlepas dari para pemilih yang juga tidak berdaya lagi
mengontrol karena tidak mampu juga mengontrol Parpol pilihannya dalam Pemilu.
Parlemen dirubah menjadi mesin pemilih birokrat. Daniel kemudian
mempertanyakan: “apakah ada gunanya disebut sebagai demokrasi dan terutama
demokrasi perwakilan bila wakil-wakil secara terencana melepaskan yang
diwakili, pemegang mandat meninggalkan pemberi mandat?” Teori oligarki
menunjukkan kiprah Parpol lebih mengutamakan kepentingan elite Parpol, bukan
konstituen/pemilih, apalagi rakyat kebanyakan. Reformasi dan demokratisasi di
Indonesia gagal menghentikan kecenderungan oligarki untuk muncul ke permukaan.
berlaku hanyalah apa banyak pengamat politik menyebut sebagai demokrasi
“prosedural” di mana faktor kelembagaan (organisasi) menempati kedudukan
sentral . Reformasi dan demokratisasi di Indonesia telah menciptakan demokrasi
prosedural, gagal membawa bangsa ini ke arah kehidupan lebih baik. Substansi
demokrasi menghandalkan meluasnya partisipasi rakyat sebagai refleksi
kedaulatan di tangan rakyat justru dikebiri dalam “ritual demokrasi” atau
istilah populernya “pesta demokrasi” lima tahun sekali (Pemilu). Runtuhnya
rezim outoritarian Orde Baru Soeharto ternyata tidak otomatis melahirkan
pemerintahan demokratis mampu meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Yang terjadi adalah “demokrasi prosedural”, pemasungan kedaulatan rakyat.
Pemilu hanya sebagai kegiatan ritual lima tahunan. Rakyat hanya bisa
menggunakan kedaulatan mereka di bilik suara selama lima tahun sekali.
Demokrasi prosedural ini tidak mampu menjawab tantangan kemiskinan dan
keterbelakangan rakyat sementara peradaban terus bergerak cepat. Teknologi
informasi melekat dalam globalisasi telah pula membentuk cara pandang baru.
Praktek demokrasi prosedural sekarang berlaku, dipercaya oleh para kritisi
politik, tidak akan pernah melahirkan elite politik benar-benar mampu
melindungi segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan
mencerdaskan kehidupan atau memenuhi kepentingan rakyat kebanyakan. Elite
politik produk demokrasi prosedural hanya mampu melindungi kepentingan elite
politik itu sendiri, termasuk pemilik kapital (kaum kapitalis) dalam negeri
maupun internasional (asing). Sejumlah UU hasil Parlemen /DPR era reformasi
telah dijadikan bukti bahwa Parpol di Parlemen/ DPR lebih mengutamakan
kepentingan kaum kapitalis dan korporasi asing. Demokrasi prosedural ini juga
diyakini telah menempatkan Parpol sebagai peserta elite kepemimpinan pada
hakekatnya justru melanggengkan kesenjangan sosial atau perbedaan klas atas
sekitar 10 % dan klas bawah sekitar 90 %. Elite politik baik anggota
legislatif, eksekutif dan yudikatif bisa menikmati kedaulatan sebagai
orang-orang terpilih sepanjang hari, bahkan memiliki hak imunitas, pengelolaan
akses sumber daya, beragam otoritas/kewenangan dan hak-hak istimewa. Rakyat
hanya bisa menggunakan kedaulatan mereka di bilik suara selama lima tahun
sekali. Semua itu menjadi absah setelah rakyat memberikan pilihan di bilik
suara dalam Pemilu. Kedaulatan rakyat dideligasikan sebagai hak tetap selama lima
tahun ke Parpol dan lembaga perwakilan. Sesungguhnya dinamika Parpol selalu
ditentukan oleh faktor intelektualitas, finansial, dan kepemimpinan. Dalam
kenyataannya, di era demokrasi prosedural ini, ketiga faktor ini selalu
direpresentasikan oleh elite, bukan oleh massa atau rakyat kebanyakan dengan
kemampuan beragam, menyebabkan Parpol jatuh ke dalam kekuasaan oligarki. Adalah
Parpol menyebabkan lahirnya kedaulatan para wakil atas pemilih, diberi mandat
atas pemberi mandat, para delegasi atas pemberi delegasi. Siapa bicara Parpol,
bicara oligarki. Parpol adalah pertarungan tanpa henti antara kepentingan massa
dengan kepentingan elite. Oligarki tidak hanya terjadi di internal Parpol
tetapi juga di antara Parpol berkuasa. Kontrol terhadap dominasi politik dilakukan
melalui birokrasi oligarki untuk menjadikan Parpol sekadar mesin pendulang
suara pemilih dan konstituen. Salah satu contoh kiprah Parpol oligarki yakni
proses nominasi dan pencalonan legislatif, fenomena oligarki begitu kental.
Fenomena ini merupakan warisan otentik dari struktur otoriter Orde Baru
mengharamkan partisipasi rakyat, menghalalkan “massa mengambang” di tingkat
Kecamatan ke bawah, dan menghalalkan mobilisasi oleh negara beserta
agen-agennya seperti birokrasi sipil dan militer. Para politisi Parpol era
reformasi terperangkap ke dalam kecenderungan oligarki baru, struktur dan
kepemimpinan Parpol merupakan duplikasi dari struktur tradisi sosio-kultural
lokal. Kesempatan rakyat menjadi faktor determinan dalam proses politik telah
dibuka melalui gerakan reformasi acapkali terbelenggu oleh struktur dan paham
masyarakat Indonesia masih patrimonial dan feodalistik. Paham masyarakat ini
merupakan sumber berkembangnya sikap dan perilaku koruptif. Karena itu, bagi
kritisi politik menggunakan teori oligarki ini menekankan, demi percepatan
proses demokratisasi di Indonesia, masyarakat pro demokrasi harus selalu
menggugat perilaku feodalistik ini. Bahkan, harus berani menghardik agar
korupsi tidak terus berjalan, dan reformasi harus terus berjalan. Sementara
itu, berbagai instrumen demokratis direkayasa untuk meningkatkan partisipasi
publik dalam proses politik pada akhirnya hanya menjadi proforma birokratis
justru menjustifikasi berulangnya praktik oligarki dalam kehidupan Parpol.
Kiprah Parpol tidak melakukan institusionalisasi politik sebagai kata kunci
dalam demokratisasi. Parpol tidak mampu menyumbangkan inovasi politik untuk
kebangkitan sebagai kekuatan pro demokrasi. Pengurus Parpol dominan menganut
pragmatisme, dan menjadikan politik transaksional menjadi norma baku. Dominan
Parpol memiliki pragmatisme kekuasaan, misalnya merapat ke kekuasaan Istana
(Presiden) demi beberapa jabatan dan konsesi politik. Pragmatisme telah menjadi
norma bagi Parpol tanpa peduli eksistensi (keberadaan) di masa depan, kemungkinan
bisa berkembang atau menang lagi. Kiprah Parpol di tingkat nasional dan juga
daerah tanpa harus konsisten dan bertanggungjawab atas janji-janji kampanye
Pemilu. Perilaku membeli suara atau fenomena “kedaulatan uang”, bukan
kedaulatan anggota, menjadi ”dimaklumi” baik dalam Pemilu maupun
Kongres/Muktamar/Munas Parpol. Amat sangat sedikit pengurus Parpol dalam
Kongres, misalnya, memberikan apresiasi pada visi dan misi dari kandidat/calon
Ketua Umum Parpol bersangkutan. Juga sangat sedikit memiliki kesadaran kolektif
untuk memilih berdasarkan pertimbangan non-material. Memberikan suara untuk
kandidat/calon Ketua Umum Parpol hanya bermodal visi dan misi menjadi tindakan
percuma sekalipun memberikan sinyal tidak bagus bagi konstituen dan pemilih
pada umumnya. Kedaulatan uang menyebabkan kebutuhan finansial bagi Parpol
menjadi sangat besar karena kerja kolektif Parpol tidak digerakkan oleh
semangat bekerja untuk publik/konstituen, namun lebih karena dana. Tanpa dana,
maka hampir dapat dipastikan Parpol di banyak daerah akan melakukan “hibernasi”
politik sampai menjelang Pemilu berikutnya. Hibernasi politik bermakna Parpol
tidak melakukan kegiatan politik apa-apa (bagaikan tertidur sepanjang musim
dingin) di tengah-tengah masyarakat. Investasi elektoral (pemilihan umum) tidak
dilakukan dengan kerja-kerja politik tekun sejak sekarang, tetapi tergantung
pasokan dana dari pengurus pusat dipimpin oleh pemilik uang banyak (kaya),
beberapa diantaranya klas pemodal/atas. Realitas obyektif ini cenderung
menghasilkan pimpinan politik jenis tertentu. Orang-orang kaya atau dapat
meyakinkan pihak lain untuk melakukan investasi dengan menominasikan dirinya
(penggalang dana berhasil) mendominasi personil-personil politik dan pada
gilirannya akan mendominasi jabatan-jabatan pimpinan politik. Selain itu, sulit
pula menerapkan kontrol publik terhadap realitas obyektif Parpol semacam itu.
Hasil negatif lainnya, penyandang dana kaya dapat menyandera Parpol. Penyandang
dana kaya menentukan apa terjadi di dalam Parpol. Mereka bisa jadi terlibat
melatih personil-personil politik Parpol, dan memilih pimpinan dan
kandidat-kandidat Parpol. Menguatnya pragmatisme dan kedaulatan uang tidak
didukung dengan pelembagaan pendanaan mandiri oleh anggota, simpatisan atau
konstituen, Parpol menjadi tergantung pada para oligarch maupun financiers
(pendana) untuk menjamin berjalannya roda atau mesin kegiatan Parpol. Pada
akhirnya, Parpol tersebut menjadi pelindung kepentingan bisnis atau bahkan
sekadar alat politik dari klas pemilik modal/atas (oligarch dan financiers).
Parpol besar hasil Pemilu 2009 dan juga Pemilu 2014 sangat mungkin telah dan
sedang mengalami nasib sama karena kepemimpinan sekarang ini bermula dari dan
beroperasi dalam pragmatisme kental. Kongres/Muktamar/Munas Parpol tidak menghasilkan
inovasi dan kreativitas menyegarkan bagi kehidupan politik kepartaian. Adalah
suatu kesalahan bagi Parpol keberadaannya terancam karena tidak mampu keluar
dari cengkaraman kaum oligarki baik di pusat maupun daerah. Di tingkat daerah,
setidaknya ada 3 (tiga) bentuk penyalahgunaan wewenang. Pertama, wewenang dalam
memilih Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota). Parpol bisa melakukan
tawar-menawar dengan Calon/kandidat, dan bagi Calon bisa memberi konsesi
ekonomi politik, Parpol dimaksud akan memilihnya. Kedua, wewenang melakukan
penilaian Laporan Pertanggungan Jawaban (LPJ) Kepala Daerah (Gubernur,Walikota
dan Bupati), baik tahunan maupun di akhir jabatan di legislatif (DPRD. Parpol
bisa melakukan tindakan ilegal dengan Kepala Daerah menghendaki LPJ diterima.
Ketiga, wewenang menyusun anggaran belanja daerah (APBD). Parpol bisa seenaknya
menyusun APBD. Kiprah Parpol semacam ini tidak lepas dari perilaku oligarki,
dikendalikan sejumlah kecil elite. Kecenderungan itu, misalnya, terlihat pada
model Parpol masih sentralistis memungkinkan pucuk pimpinan Parpol menggerakkan
agenda tanpa perlu berpikir apakah agenda itu dikehendaki anggota/konstituen
atau tidak. Semua keputusan Parpol tunduk pada perintah Ketua Umum. Teori
oligarki ini menunjukkan kiprah Parpol anti demokrasi karena kedaulatan berada
pada elite, bukan massa anggota/konstituen. Kecenderungan oligarki Parpol ini
bisa jadi karena antara lain pemilih masih belum sepenuhnya rasional. Dalam
menentukan pilihan, pemilih tidak mempertanyakan apakah Parpol telah berusaha
menepati janji atau program dikampanyekan dalam Pemilu atau tidak. Pemilih
masih melihat figur/tokoh Parpol, bukan konsistensi ideologis Parpol tersebut.
Realitas obyektif ini kemudian dianggap membuat Parpol nekat untuk menjauh dari
preferensi dan kepentingan pemilih/konstituen. Elite Parpol yakin, pada Pemilu
mendatang, pemilih masih tetap memilih mereka. Keyakinan semacam ini semakin
menguat tatkala proses Pemilu berlangsung, dapat dilakukan perolehan suara
pemilih secara ilegal, yakni memberi uang atau politik uang baik langsung ke
kalangan calon pemilih maupun petugas resmi pelaksanan Pemilu di tingkat
Desa/Kelurahan atau Kecamatan, Kabupaten/Kota, Propinsi dan bahkan Pusat.
Kecurangan dan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan acapkali
terjadi atas perbuatan elite parpol tanpa mendapatkan sanksi hukum melalui
forum pengadilan. Kebanyakan kasus-kasus kecurangan dan pelanggaran terkait
dengan perolehan suara diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK), tidak
berwenang memberikan sangsi pidana. Peran MK hanya menyelesaikan sengketa
perolehan suara. Berdasarkan pengalaman persidangan perkara Pemilu 2009 di MK,
pada umumnya perkara disidangkan menyangkut perhitungan suara di tingkat
Kecamatan. Jeffrey A. Winters adalah seorang ahli ekonomi politik mempunyai
perhatian besar terhadap Indonesia, telah menulis buku berjudul Oligarchy (USA:
Cambridge University Press, 2011). Buku ini telah diterjemahkan dan diterbitkan
di Indonesia berjudul Oligarki (Jakarta: Gramedia, 2011). Apa yang dimaksud
“oligarki”? Buku Jeffrey A. Winter ini mendekati oligarki lewat oligark,
dipahami sebagai individu-individu yang diperkuat oleh kekayaan.Oligark bisa
menjadi pemilik tunggal atau pemilik yang mengendalikan perusahaan, dan bisa
menggunakan perusahaan untuk sarana kekuasaan pribadi. Dalam kondisi tersebut,
perusahaan menjadi wahana untuk mendukung kepentingan oligark yang
menguasainya. Perusahaan bisa dimiliki dengan cara-cara yang sangat baur dan
tak pribadi, juga bisa dijalankan oleh tingkat-tingkat manajerial yang
terkadang mencakup pekerja atau negara. Oligark sudah lama sebelum perusahaan
ada, dan terus ada meski muncul kapitalisme manajerial dan kepemilikan
perusahaan oleh negara (atau pekerja). Perusahaan tidak berdiri sendiri dalam
teori oligarki, dan sebaliknya dipandang sebagai saran potensial oligark. Teori
oligarki Jeffrey, pusat perhatiannya pada kekuasaan pelaku yang menggunakan
sumber daya material di bidang politik dengan efek ekonomi yang penting. Baik
oligark maupun oligarki tidak dimaknai melalui cara produksi atau penarikan
surplus tertentu. Oligarki juga tidak dimaknai dengan seperangkat kelembagaan
tertentu. Karena itu, teori oligarki ini menunjukkan “kebal terhadap reformasi
kelembagaan”. Teori oligarki Jeffrey ini berguna untuk menjelaskan teka-teki
besar seperti di Indonesia: banyak pandangan bahwa keadaan sudah banyak berubah
sejak kejatuhan Soeharto pada 1998, namun sebenarnya keadaan nyaris tidak
berubah. Pada 2009, Indonesia dinyatakan sebagai negara paling demokratis dan
paling korup di Asia Tenggara. Indonesia ditimpa masalah politik dan ekonomi
kronis yang tampaknya makin parah sebagai resiko kelahiran demokrasi. Tetapi,
menurut Jeffrey, penafsiran semacam ini justru menggagas bahwa sebenarnya ada
dua transisi pada 1998: transisi yang kentara dari kediktatoran ke demokrasi,
juga transisi lain yang cukup berbeda dari oligarki sultanistik yang
dijinakkkan Soeharto menjadi oligarki kekuasaan yang belum dijinakkan semenjak
jatuhnya Soeharto. Transisi kedua itulah yang tidak kurang penting dibandingkan
yang pertama, yang menjadi sumber banyak kesulitan di Indonesia. Penjelasannya
hanya bisa didapat melalui suatu teori yang mampu meneliti kekuasaan dan
politik oligarki. Berdasarkan teori oligarki ini, Jeffrey menilai bahwa keadaan
Indonesia sering disalahtafsirkan sebagai masalah “kualitas demokrasi” berupa
munculnya “demokrasi kriminal” di mana para oligark menggunakan kekayaan mereka
untuk bersaing secara tidak adil untuk mendapatkan jabatan, dan mengalahkan
hukum ketika bermasalah akibat korupsi atau bencana. Pertahanan kekayaan dan
harta sebagai tujuan utama oligarki tidak hilang hanya karena tugas mengamankan
posisi material oligark bergeser keluar dari tangan mereka. Para oligark bisa
menyesuaikan diri dengan perubahan tatanan pengamanan kekayaan terhadap
ancaman. Jeffery melalui buku ini menggagas bahwa cara demokrasi ditangkap dan
dipelincir sejak kejatuhan Soeharto paling baik dijelaskan dengan teori
oligarki matrialis. Tidak ada pertentangan inheren antara oligarki dan demokrasi,
maupun antara oligarki dan cara produksi apa pun. Indonesia paling tepat
dijabarkan sebagai demokrasi kiminal di mana para oligark secara teratur ikut
serta dalam pemilihan mum sebagai alat berbagai kekuasaan politik, sambil
menggunakan kekuatan kekayaan mereka untuk mengalahkan sistem hukum dengan
intimidasi dan bujukan. Bangsa Indonesia sekarang lebih bebas, dan para
oligarkinya bergerak sendiri-sendiri. mereka menggunakan sumber daya kekuasaan
material untuk pertahanan kekayaan dan harta dalam ekonomi politik yang penuh
ancaman dan ketidakpastian. Perebutan jabatan tinggi dalam politik juga
mendatangkan keuntungan bagi pertahanan ologarkis. Para Oligark pribumi mulai
menanamkan sumber daya cukup besar dalam politik partai dan usaha mencapai
jabatan tinggi dalam upaya melindungi diri dari ancaman terhadap kekayaan
mereka yang bersumber tidak jelas, juga banyak kejahatan lain yang mereka
lakukan sebelum dan sesudah Soeharto lengser. Salah satu transformasi terbesar
sejak transisi demokarsi adalah bahwa media besar, yang dimiliki para oligark
dan digunakan secara luas dalam pertarungan antar oligark, terus menerus
berkoar mengenai tingkat korupsi yang kelewatan. Afiliasi partai dan posisi
sebagai kandidat untuk jabatan tinggi memperkenankan tertuduh menanggapi
tuduhan terhadap dirinya berbau politis. Banyak oligark tertarik terlibat
langsung dalam politik agar bisa menggunakan mekanisme penangkis
itu—mengeluarkan sumber daya pribadi cukup banyak untuk masuk ke jajaran atas
partai-partai yang sudah ada atau mendirikan partai baru, Prestasi partai yang
lumayan ( di Indonesia berarti setidaknya terdapat 5 % suara rakyat) bisa
berarti jaminan mendapat post cabinet yang menguntungkan atau pembayaran uang
berjumlah besar dalam hirup pikuk pembentukan koalisi untuk mendukung Calon
Presiden. D. TEORI POLITIK KARTEL Teori politik kartel menggunakan konsep
kartel untuk menggambarkan suatu kelompok elite politik dalam hal ini
Parpol-parpol, bekerja sama sebagai suatu entitas untuk menjaga kepentingan
bersama, ditandai minimnya tautan elektoral (hubungan pemilihan) antara
perilaku Parpol dalam Pemilu dan Pemerintahan. Parpol melakukan politik kartel
berkewajiban menentang sekaligus membatasi kompetisi (persaingan) dan
menghalangi akses bagi Parpol pesaing, dan mendistribusikan atau
membagi-bagikan keuntungan kekuasaan politik terhadap sesama anggota kartel
(elite Parpol). Para pengguna teori politik kartel telah menunjukkan setidaknya
lima karakteristik politik kartel kepartaian, yakni: 1. Menghilangkan peran
ideologi. 2. Mengutamakan koalisi, bukan oposisi. 3. Janji-janji tidak
direalisasikan. 4. Memperoleh dana illegal. 5. Menghindari penyingkapan
korupsi. Teori politik kartel ini menjelaskan model Parpol “kartel” sebagai
kelanjutan dari model-model Parpol seperti model Parpol “kader”, Parpol
“massa”, Parpol “oligarki”. Dalam literatur ilmu politik, Richard S. Katz dan
Peter Mair adalah ilmuwan politik mencoba membangun model Parpol kartel, yakni
Parpol “berkolusi” menjadi agen dari negara dan menggunakan sumber-sumber daya
negara untuk memastikan kehidupan kolektif mereka sendiri sehingga tetap bisa
bertahan (eksis). Terbentuknya Parpol kartel ini memberikan pengaruh terhadap
Pemilu, yakni menang atau kalah dalam Pemilu hanya membuat sedikit perbedaan
pada tujuan Parpol karena tidak adanya pertarungan besar pada aspek kebijakan,
tetapi dapat dibuat perjanjian baik terkait dengan survival Parpol di mana
sumber daya banyak berasal dari negara. Bahkan, ketika para pemimpin Parpol
kalah dalam pemilihan, mereka tidak menjadi kehilangan kekuasaan karena
berkolusi untuk saling berbagi kekuasaan. Salah satu alasan paling digandrungi
oleh para pengguna teori politik kartel, Parpol akan cenderung menyandarkan
pembiayaan operasionalnya pada dua institusi: negara dan kelompok atau segmen
masyarakat mampu membiayainya (sebagian besar Pengusaha), pada dasarnya berasal
dari “pemburu rente”. Parpol secara kolektif memiliki kepentingan untuk menjaga
kelangsungan hidup mereka, yakni untuk membiayai kegiatan politik. Untuk
keperluan memobilisasi dana politik itulah mereka bersama-sama melakukan
“kolonisasi” terhadap Kabinet/Pemerintah dan kepemimpinan DPR karena
posisi-posisi itu menyediakan rente ekonomi. Hal ini juga disebabkan
ketidakmandirian Parpol dalam menggalang dana dari anggotanya. Ketidakmandirian
menyebabkan ketidakmandirian pula dalam hal ikhwal bersifat strategis. Parpol
mungkin hanya ditunjang oleh beberapa konglemerat (pemburu rente) dan
sekelompok simpatisan Parpol membuat keputusan Parpol tidak bisa lepas dari
koridor kepentingan politik tertentu. Acapkali terjadi “perkawinan politik”
antara pengusaha (pemburu rente) dan penguasa/politisi Parpol. “Pemburu rente”
adalah suatu konsep dalam perspektif ekonomi rente, semula dikembangkan oleh
ekonom Gordon Tullock dalam Theory of Economic Rent-Seeking. Menurut Tullock,
ekonomi rente cenderung terjadi pada mereka memegang kendali struktur monopoli.
Di sektor ekonomi mereka memonopoli sumber daya, distribusi dan pasar sementara
di sektor publik menjadi pengontrol kebijakan di pemerintahan (eksekutif dan
legislatif). Di Indonesia fenomena ekonomi-rente pernah diuraikan oleh
Yoshihara Kunio dalam karyanya The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia.
Kunio menganalisis fenomena ekonomi atau pemburu rente di Indonesia.
Dijelaskan, praktek kapitalisme semu (ersatz capitalism) di Indonesia
menimbulkan tumbuhnya pemburu rente di kalangan birokrat/pemerintah sehingga
pelaku usaha sesungguhnya tidak bisa berkembang. Kehadiran kapitalis di
Indonesia karena adanya orang-orang punya kedekatan dengan penguasa (personal
contact) dan cenderung membangun industri berdasarkan kedekatan keluarga, bukan
berdasarkan pada profesionalisme industrialis. Ekonomi rente telah mewujud
dalam bentuk kerjasama saling menguntungkan antara oknum pengusaha menyediakan
modal domestik maupun asing dengan pejabat/penguasa menyediakan fasilitas,
insentif dan proteksi. Pengusaha memperoleh keuntungan berupa murahnya sumber
daya, mudahnya akses atas informasi dan opportunity diperoleh melalui kebijakan
dikeluarkan untuk itu sementara penguasa/pejabat memperoleh keuntungan dalam
imbalan suap, kolusi dan korupsi. Berdasarkan uraian ekonomi rente di atas,
istilah “pemburu rente” dimaksud adalah pelaku usaha melakukan kegiatan untuk
mendapatkan pendapatan dengan cara monopoli, lisensi, dan penggunaan modal
kekuasaan di dalam bisnis. Pemburu rente memperoleh keuntungan dengan cara
bukan persaingan sehat di dalam pasar, namun dengan mengundang kekuasaan atau
mempengaruhi kekuasaan untuk mengambil dari suatu nilai tidak dikompensasi. Pemburu
rente ini acapkali terlibat dalam pembuatan regulasi (peraturan
peundang-undangan) ekonomi melalui lobi kepada penguasa di pemerintah
(eksekutif dan legislatif). Dalam era reformasi ini, para pemburu rente
dimaksud semakin berperan besar dalam politik kekuasaan melalui penguasaan
Parpol atau pendudukan posisi-posisi puncak Parpol. Kembali pembicaraan tentang
pendanaan Parpol dan munculnya politik kartel karena adanya kepentingan Parpol
untuk mengakses sumber dana negara, ada dua sumber dana negara. Pertama, dana
budgeter legal memang dialokasikan sebagai bentuk pendanaan publik untuk
Parpol. Kedua, dana ilegal merupakan campuran antara dana budgeter dan
nonbudgeter, misalnya dana dalam rekening Departemen, rekening Menteri dan
rekening Direktur Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD). Sumber kedua ini dinilai ilegal karena tidak dialokasikan untuk
pendanaan Parpol. Kondisi Indonesia sangat memungkinkan terciptanya politik
kartel karena besarnya dana negara tersedia dan juga masih banyaknya kelemahan
baik secara substansi maupun pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait
dengan keuangan Parpol. Politik kartel, menurut penguna teori ini, dibutuhkan
oleh para elite politik (Parpol) untuk menghindari adanya penyingkapan terhadap
penggunaan dana negara secara ilegal oleh elite politik (Parpol) lain. Para
teoritisi politik kartel menunjukkan Parpol berorientasi kepada pembangunan
kekuasaan politik melalui uang sehingga Parpol sangat bergantung pada sumbangan
dari pihak-pihak pemilik modal. Peran Parpol tidak secara konsisten mengawal
proses demokratisasi, tetapi hanya untuk perebutan kekuasaan dan uang. Iuran
anggota tidak bisa berjalan dan Parpol tidak mampu mandiri dalam mendanai
kiprahnya di masyarakat madani umumnya atau di tengah-tengah kelompok
pemilih/konstituen khususnya. Calon anggota legislatif juga harus menyiapkan
sendiri uang untuk bisa berkampanye. Seorang pengguna teori politik kartel di
Indonesia menggunakan beberapa bukti untuk menjustifikasi hipotetisnya, yakni
kasus DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan), kasus Buloggate I dan II dan
kasus Bank Bali. Kasus-kasus ini dijadikan bukti kecenderungan sifat para elite
politik kooperatif, terutama dalam masa-masa Pasca Pemilu, bagaimana uang
negara mengalir ke sejumlah Parpol. Ketika akan dapat menjatuhkan elite
politik, terjadi kompromi dan diredam di antara elite politik Ada semacam upaya
untuk menghindari adanya penyingkapan penggunaan dana ilegal oleh elite
politik. Secara garis besar, para pengamat politik menilai kehidupan kepartaian
berdasarkan politik kartel ini menyebabkan kerugian atau membawa dampak negatif
terhadap kehidupan politik sebagai berikut: 1. Politik berada pada tingkat
sangat permukaan dan artifisial, tidak ada lagi hal ikhwal bersifat prinsipil.
2. Politik secara mudah digeser dari perdebatan mendalam tentang kesejahteraan
publik ke tawar-menawar kekuasaan, dan kepentingan publik pada akhirnya dapat
dibeli. 3. Argumen dan debat politik cerdas dan hilang tergantikan oleh uang
dan kekuasaan. 4. Tidak ada jaminan kehendak publik (rakyat) dititipkan kepada
Parpol lewat Pemilu akan direalisasikan. 5. Ada keterputusan mandat dari
pemilih, dan institusi Parpol lebih dekat dengan negara ketimbang dengan
rakyat. 6. Sikap politik pragmatis dan mayoritas Parpol koalisi bertendensi
memaksimalkan kekuasaan di tangan Presiden dan juga politik dinasti. 7. Politik
hanya menjadi ajang jual beli suara rakyat sebagai alat tukar dalam mendapatkan
kekuasaan. 8. Karena ketidakadaan akuntabilitas publik dari Parpol beroposisi,
maka kualitas keputusan publik menjadi rendah. 9. Ideologi dan platform tidak
lagi substansial karena telah digantikan oleh prinsip oportunisme. 10. Tidak
bisa berharap banyak proses politik akan menghasilkan pemerintahan
memperhatikan kepentingan publik secara luas. 11. Pada dasarnya tidak akan
pernah menjadi Parpol gerakan atau bagian dari gerakan massa, apalagi massa
aksi, kecuali Parpol elite hanya akan melakukan kegiatan menjelang dan saat
Pemilu saja. 12. Rakyat akan dipaksa untuk menari di atas genderang ditabuh
oleh kalangan elite politik (Parpol) lima tahun sekali (Pemilu). 13.
Terciptanya iklim anti demokrasi dan pro korupsi karena Parpol menghasilkan
keuntungan sendiri, melindungi khususnya tindakan mengambil uang negara secara
ilegal dari tindakan para penegak hukum.
Semoga dengan ini bisa membantu
pembaca yang sedang berfikir untuk mendirikan partai atau melibatkan diri dalam
partai Politk sebagai hamba ini.
Bagi yang akses blog ini tolong tinggalkan komentar anda yang positive.
BalasHapus